Wednesday, December 28, 2016

DIBALIK MEDIA SOSIAL

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGwX8_eOTranCUUpekTl7RmxbpUS8otiYo4vhgan0fK03nHDHmCXpCJW7pK6sc9y2X0IJ43mPGuxmCSsYsYdiXNj5Zxo86UMHl7yk63rSOXsouMQsCvJQ21L8ZYU6RO2aCznYJLJMkskuP/s1600/sosmed+3.jpg



Media sosial, sarana prasarana dalam berkomunikasi yang memiliki dua mata pisau. Media yang menawarkan persahabatan dengan penuh manfaat dan kegunaan dalam berbagi teknologi dan informasi, namun juga dapat menjadi musuh yang paling jahat untukmu. Keberagaman media sosial saat ini telah membuat para penggunanya menjadi "hamba sahaya" bagi Smartphone dengan segala aplikasi media sosial didalamnya. Bagi para pengguna yang mampu mengelola dengan baik, dapat menjadi selebriti di dunia maya dan sebagai "panggung" untuk mendapatkan keuntungan baik materi maupun imateri. Selebriti dunia maya tak perlu repot-repot merangkai skenario untuk di bahas oleh wartawan gosip untuk menjadi populer atau mengikuti audisi pencarian bakat dll, dengan adanya media sosial, mereka memiliki "panggung" untuk berkreasi dan dapat ditonton oleh jutaan orang dan yang beruntung dihujani likes plus dihadiahi endorse berupa barang, uang, paket liburan dan lain sebagainya serta tentunya predikat sebagai "selebriti dunia maya".

Dulu, sewaktu saya sangat aktif di media sosial, saya memang turut merasakan banyaknya manfaat dari media sosial, sebagai ajang mencari informasi tentang apa yang sedang terjadi di dunia, sharing infromasi, sharing knowledge, tentang tempat-tempat menarik yang belum dikunjungi, tentang tempat-tempat makan yang menggugah lidah, tentang info seputar kesehatan, tips dan trik yang berbau  tentang serba-serbi rumah, gaya hidup, dan lain sebagainya. Tentu saya juga dulu pernah muda dan labil, hahaha. Tapi mungkin semua ada masanya, saya memang masih mengikuti trend media sosial, tapi tidak seaktif ketika saya masih duduk di bangku pendidikan. Saya sudah banyak mengurangi aktifitas di media sosial. Iya, semua memang ada masanya, antara bosan dan merasa bahwa tidak semua hal harus diceritakan di media sosial, bahwa semua hal lebih indah bila dirasakan tanpa perlu "pengakuan" dari orang lain. Terlebih urusan pekerjaan yang lebih membutuhkan perhatian daripada media sosial yang gak gaji saya juga hehehehe..


Ada kerabat saya yang sengaja tidak bermain di media sosial manapun, alasannya adalah dia tidak ingin "diperbudak" media sosial. Hal yang cukup klise sebetulnya untuk sebuah jawaban, hehehe. Sedikit berdiskusi pada malam itu, "Lah kan mbak tetep bisa kontrol mau posting apa trus kapan mau posting, kan ikut maunya mbak aja kan?", "Iya sih, tapi tetep aja deh, kamu posting itu pasti mikir apa yang diminta sama media itu sendiri, kaya di Facebook 'what's on your mind?', atau di Twitter 'what's happening?', dan Instagram 'minta' kamu untuk posting dan caption foto ini itu.. Nah mudeng kan maksud mbak?", oke deh.. langsung nyengir ngangguk-ngangguk aja sama kata-katanya heheehee.. soalnya buat saya media sosial sebagai bagian dari hiburan selepas penat bekerja, media bermain dan belajar.. media untuk menyaring infromasi dan take and give tentang acknowledge.. intinya sih buat playground saya hihihi..Tapi memang ada masanya saya kebanyakan main sosial media ya walaupun gak sampai adiksi. Yah, ada benernya juga sih kata-katanya.. oke deh 50% saya setuju heheehe...


Saya teringat sebuah kisah selebgram asal Australia, namanya Essena. Essena adalah seorang selebgram telah memiliki pendapatan dari akun sosial media miliknya dari hasil endorse barang-barang. Apakah Essena bahagia? Tidak. Essena yang memiliki ratusan ribu pengikut dari akun Youtube dan Instagram dengan segala popularitas serta barang-barang branded yang dimilikinya ternyata belum dapat membuatnya bahagia. Essena pun bertekad menjadi dirinya sendiri atau swag a.k.a being yourself kalau istilahnya Justin Bieber. Essena kemudian berterus terang kepada fans nya tentang foto-foto "pencitraan" miliknya dan menghapus lebih dari 2000 postingan foto miliknya sebagai bentuk perlawanan terhadap dirinya sendiri dari adiksi terhadap sosial  media. Keputusan tersebut diambil sebagai bentuk pembatasan privasi hidupnya yang dirasa sudah terlalu banyak "dikonsumsi" oleh publik/media sosial. Baginya saat itu, dia terasa memiliki kehidupan dua dimensi. Hidupnya sebagai Essena dan hidupnya sebagai selebgram Essena dengan segala yang ingin dilihat publik bukan Essena yang sesungguhnya. Dia mengakui bahwa sangat mudah untuknya dalam mendapatkan new followers atau likes di media sosial miliknya, namun hal itu tak membuatnya bahagia. Bagi Essena, melihat followers-nya membeli barang yang dia endorse tidak membuatnya merasa senang. Hal yang membuatnya bahagia adalah ketika apa yang telah dia perbuat mampu menginspirasi orang-orang dan membuat perubahan hidup serta pikiran yang positif bagi followers-nya.

Ada orang-orang yang tampil di Instagram dengan kesempurnaan tertentu dan tentunya menjadi ‘standar’ kesempurnaan fisik manusia di media sosial. Tapi siapa sangka dibalik ‘kesempurnaan’ yang mereka tampilkan, hidup mereka tidaklah sebahagia dan secantik seperti yang tergambar di media sosial. Sama halnya dengan orang-orang yang berusaha menginspirasi dan memberi semangat ke orang-orang, sementara disaat yang sama sebenarnya dialah orang yang sedang membutuhkan pencerahan, arahan, inspirasi, dan suntikan semangat. Akan tetapi, ada juga orang-orang yang berpenampilan biasa, namun mereka justru orang-orang yang bahagia. Mereka hidup bahagia dengan kehidupan mereka, dengan keluarga mereka, memiliki ikatan yang kuat dengan keluarga, pasangan dan lingkungan sosial mereka. Mereka bahagia menjadi diri mereka sendiri tanpa harus berpura-pura menjadi seseorang yang memiliki standar tertentu, tanpa perlu pengakuan dari orang-orang bahwa kehidupan maupun personality mereka adalah kehidupan idaman semua orang serta patut dijadikan panutan.


Bukan berarti media sosial dapat dijadikan tolak ukur kebahagiaan dan pengakuan, or even worse pencitraan. Saya pikir mudah untuk 'menciptakan' hidup ideal ala media sosial melalui filter yang impresif selain untuk mengekspresikan diri, media sosial juga dapat dijadikan indikator kepribadian sang pengguna. Media sosial pun dapat juga berfungsi sebagai sneak peek penggunanya, pun status sosial ekonominya. Hmm.. inget syahrini gatau kenapa.. hehehe.. Tapi tentunya saya setuju dengan peran media sosial secara positif, yaitu media sosial sebagai salah satu bagain dari personal branding dan sayang banget kalau tidak dimanfaatkan di era kekinian yang makin kompetitif ini, ya kan?


Untuk orang-orang yang memang memiliki jiwa entrepreneur, publisitas dan exposure, media sosial tentunya akan berperan bagus jika dimaksimalkan penggunaannya. Jadi, jangan terlalu mendalami peran dalam sandiwara pencitraan hanya demi mendapatkan followers, likes ataupun demi mendapatkan sebuah pujian yang sebenarnya bukan kehidupan nyata kita. Jika hal tersebut terus dilakukan, tidak menutup kemungkinan kita akan mengalami gangguan kesehatan jiwa serta emosi yang tidak stabil. Well, tentu ada masanya, masa dimana kita merasa letih dengan semua kepura-puraan itu, ada masanya kita ingin tampil apa adanya. Iye kan? 

Semoga saja kita tidak dikendalikan oleh nafsu dan emosi atas jari-jemari kita dalam mengunggah sisi rapuh dan kelemahan kita, atau memperlihatkan yang bukan kita. Akan sangat bijak bila kita tahu benar apa yang ingin kita unggah. Secara tidak sadar kadang kita dikendalikan oleh media sosial, dimana bentuk pengendalian media sosial yang paling hebat adalah ketika kita merasa bebas melakukan apapun, baik memposting apapun yang kita suka, padahal kita sedang dimanupulasi dan didikte oleh media sosial untuk mengunggah seperti yang media sosial 'minta'. Maka, gunakanlah akal sehat, karena akal sehatlah yang mampu mengurungkan niat untuk membuka aib diri sendiri agar harga diri tetap terjaga dengan baik, karena sesungguhnya fame dan pure bedanya sangat tipis sekali.

Opini menjelang senja.