Saturday, January 7, 2017

RESOLUSI 2017
 IS
A WISH YOUR HEART MAKES

“IT’S A BRAND NEW DAY.. HAPPY NEW YEAR 2017, FELLAS.. CHEER UP FOR THE BETTER FUTURE", Kira-Kira beginilah messages yang saya dapat dari teman-teman saya. Well, banyak orang-orang yang menganggap Tahun Baru sama artinya dengan harapan baru dan impian baru. Tapi buat saya, Tahun Baru adalah menjaga harapan hati untuk menjadi sebuah garis kehidupan. Duh, berat sekali bahasanya. hahahaha. Jujur sih awal-awal SMA saya suka buat keinginan di kertas kecil warna warni lalu saya masukkan di jar/toples kecil. Atau saya tulis harapan di kertas trus dimasukin dibotol lalu dibuang kelaut ala-ala film gitu deh. hahahaha. Tujuannya apa sih? Ya tak lain dan tak bukan adalah mengisi pikiran dengan keyakinan yang positif dan baik. Bisa terkabul bisa juga tidak. Ya, God’s way apalagi kan. J

Bicara tentang Tahun Baru, orang-orang kemudian beramai-ramai menuliskan tentang harapan-harapan serta keinginan yang belum tercapai di tahun lalu atau nge-trend-nya : RESOLUSI. Bicara soal resolusi, saya termasuk orang yang suka nulis resolusi tapi yah cuma buat have fun aja hahahaha. Tapi tahun 2017 ini nampaknya akan sangat berbeda. Resolusi yang selalu saya inginkan adalah mendapat WAKTU dan KESEMPATAN untuk bisa melanjutkan pendidikan Magister sesuai dengan passion saya sewaktu kuliah atau dibidang Psikologi dalam pengembangan sumber daya manusia yang dapat masuk kedalam ilmu sosial, politik dan ilmu-ilmu serapan yang lainnya. Karena kalau sudah bekerja, waktu, tenaga dan pikiran semua terfokus pada apa yang sudah dibebankan atau diamanatkan kepada kita. Saya bisa dikatakan, nyemplung dengan bebas dari anak politik ditempatkan di bagian keuangan. Tentu sulit dan roaming ya dengan keuangan, tapi dengan tekad untuk terus belajar dan displin serta loyalitas pada negara, ya Alhamdulillah bisa hehehe. Kata-kata saya udah bisa kan dikatakan sebagai abdi negara yang loyal? hihihihi..

Selain resolusi kuliah magister, sebenarnya sih saya kepengen mewujudkan resolusi mama saya hahahahaha. “Dek, pacarnya siapa? punya pacar gih, mama udah kasih ijin.”, (tercengang) “yah ma.. belum ada, eh ada sih yang naksir, yang deketin juga ada disini. Tapi belum ada yang sreg.”, jawab saya polos. Mama langsung deh bilang, “Masa iya harus sama Lee Min Hoo baru kamu sreg”. Duwerrrrrrr…. “Bukan ma, tapi Saya ini baru merasa bebas ngeliat cowok ganteng, karena baru ngerasa gak bersalah liat-liat cowok dan bisa bilang, wih ini ganteng itu ganteng ini baik itu baik daripada dia, baru bisa gitu ngebandingin, gitu, jadi lagi me time sama keadaan ini intinya sih baru bisa melihat lelaki-lelaki disekitar yang sebelumnya saya buta sama satu laki-laki dari jaman itu mama, emang lagi mencari yang serius”. J Akhirnya mama pun mengeluarkan resolusi punya pacar di tahun 2017. Saya ndomblong. Ya baiklah memang sudah masanya dan saya gak bisa egois untuk bilang masih mikir karir, mau lanjut S2, mau beli mobil, kredit rumah dan lain sebagainya. hahahaha banyak amat kapan kawinnya hahaha J

Semakin kesini tentu keegoisan kita menurun dan lebih memikirkan kebahagiaan orang tua kita, saya sempet mikir terima aja kalau mau dijodohin, habis asal saya yang milih kok sakit hati terus. Kalau mama, gak suka jodohin, kalau papa suka jodohin sih tapi huuw…. kok di kampung halaman ayah saya, perjodohon dinilai berdasarkan garis keturunan keluarga, bukan dari seberapa baik agama si calon menantu atau masih ada hubungan keluarga. Supaya darah keturunan Ningrat dkk masih terjaga. Tidak melaksanakan apa yang diperintahkan olehNya itu urusan belakangan yang penting keturunannya. Saya tertohok dan mundur perlahan dari niat anak baik  tersebut. Disini memang seperti di Bali, masih menggunakan kasta (Atas, Menengah dan Bawah). Sebaik apapun agamamu, prestasi sekolahmu, karirmu, ataupun hartamu kalau bukan dari kelas Ningrat/Bangsawan. Ya, lamaran susah untuk didapatkan. Jadi, disini baru mau PDKT aja udah harus lapor diri sama Ayah, saya suka sama si ini, marga (family name) ini, apa boleh? kalau kelasnya sama boleh, tapi kalau tidak se-kasta dan kamu menikah dengannya, ya siap-siap dijauhi keluarga besar, pahit-pahitnya, dihapus dari silsilah keluarga plus penerima warisan. Life gets hard and looks unfair ya. But wait a minute, ada solusinya, menikah dengan orang luar daerah, kasta tidak berlaku. Jadi main aman saja, menikah dengan orang dari luar, mau Jawa, Sunda, Bugis, Melayu, atau Bahkan WNA gak apa-apa deh, daripada ribet urusannya. Yakan?

Jadi, resolusi 2017 adalah berdoa dan rajin sholawat : Kuliah S2 di Australia (Melbourne/Sydney) dengan konsentrasi yang sudah diincar dari sejak saya lulus S1 dan mendapatkan teman hidup. Soal pekerjaan dan uang, saya pikir bisa didapatkan dengan etos kerja yang baik. Resolusinya simple tapi gak simple tapi bukannya tidak mungkin. Jika harapan ada, maka keyakinan selalu lahir dibelakangnya, bagai bayi kembar yang mampu membuat orang tuanya merasa bahagia dan mampu bertahan bila hidup terasa berat. Niat baik insyallah ada saja jalan untuk mencapainya, Bismillah.. Allahumma Sholi Ala Sayidina Muhammad Wa Ala Ali Sayidina Muhammad..  Keep on Believing, Keep in Being You.. J


Monday, January 2, 2017

IT’S MORE THAN FASHION…

     Jakarta. Sore yang mendung itu. Saya berjalan menyusuri jalanan Ibukota usai menyelesaikan tugas dinas saya dengan baju batik dan celana kain. Terkesan formal tapi ini kan weekdays jadi gak awkward lah ya. Saat itu saya iseng memperhatikan gaya berbusana orang-orang yang lalu lalang disekitaran saya. Beragam gaya fashion yang saya lihat. Well, saya suka memperhatikan orang-orang secara random soal gaya berbusana mereka baik itu orang yang saya lihat di mall, di kantor, di bus, di kereta, di halte, di stasiun, di bandara, di jalanan dan di meet up-meet up acara tertentu. Anywhere, anytime.  Terkadang dari situlah saya mendapat inspirasi soal gaya busana yang ingin saya jahit dengan model tertentu yang saya yakini masih sedikit orang yang memakainya, ya, meskipun akhirnya banyak juga yang memakai model yang saya buat sketsa-nya. Aku Rapopo. J hahaha.

Kadang kala saya pergi ke mall-mall besar dengan interior yang unik sesuai dengan Perayaan Hari-Hari Besar di Indonesia, dengan pencahayaan yang lembut dan hangat, dengan tata ruang yang spacious. Tujuannya apa? Ya untuk rekreasi jiwa, hati dan mata. Meskipun terkadang semua ini soal shopping. Yah hak semua oranglah ya untuk datang ke mall even bukan untuk belanja. Karena mall adalah ruang publik dimana banyak orang yang berkunjung dengan beragam alasan. Begitu juga dengan toko buku, saya suka tata ruang yang dibuat rapi, sejajar dan terasa ruangan menjadi penuh namun tak membuat sesak. Tujuan datang ke toko buku? Ya yang pasti mencari buku, menambah informasi melalui membaca, dan datang ke toko buku merupakan salah satu sarana rekreasi jiwa bagi saya. Sesekali saya melihat sekeliling rupa-rupa seperti apa yang pergi ke toko buku. hehehe.

Kesimpulan yang saya dapat dari hasil pandangan mata secara random adalah, rata-rata mereka yang datang ke mall memiliki gaya yang sama dengan apa yang ditampilkan di mall-mall besar dengan segala macam barang-barang branded yang dijual disana. Pramuniaga di mall pun (kebanyakan) melayani sesuai dengan gaya berpakaian pelanggan. So pathetic.  Lain halnya dengan gaya berbusana di toko buku, mereka serupa dengan tatatan di toko buku tersebut. Sama-sama rapi, sama-sama enak dilihat, sama-sama stylish-nya. Entah mereka benar-benar membeli buku, entah mereka hanya membaca buku, menunggu waktu hingga jam tayang ditiket bioskop mereka dimulai, entah mereka menunggu seseorang atau cuma ingin nongkrong sambil meeting. Yah, semacam salah satu cara yang efektif untuk membunuh waktu dengan cara yang stylish, gitu.

By the way, Saya jadi tergelitik untuk membahas tentang kemampuan seseorang dalam berbusana untuk tampil keren bukan mahal lho ya. Apakah gaya berbusana seseorang itu dipengaruhi oleh naluri or taste, bakat, situasi, kondisi ataukah sesuatu yang tercipta karena life style? Karena sering sekali saya lihat, seseorang itu tampil keren itu tak melulu dikarenakan busana yang mereka kenakan mahal atau memakai produk branded dari atas sampai bawah. Tapi juga bisa karena mereka memang pandai memadu padankan atau mix and match, mereka pandai dalam memilih gaya yang sesuai dengan bentuk badan, warna kulit, atau mereka bisa tampak stylish karena life style yang sudah mereka ‘bawa’. Seperti misalnya berada di toko buku, atau tempat nongkrong yang gaul/menarik. Padahal mungkin cuma pakai t-shirt, jeans, postman bag/tas jinjing, flast shoes/keds/sneakers.  Sederhana tapi stylish.

Ah, saya sudah lama sekali tidak nongkrong ditempat-tempat yang begituan, karena tempat kerja saya yang sekarang ini, bisa dibilang masih dalam tahap kota yang baru saja dimekarkan (dalam masa pembangunan), sehingga mall, gedung bioskop, atau pun tempat-tempat nongkrong semacam 7eleven hanya bisa saya dapatkan ketika berkunjung ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Ambon, dsb. Tapi tempat-tempat gaul itu digantikan dengan wisata alam yang mumpuni seperti Pulau Bair, Ngurtavur, Goa Hawang, Pantai Pasir Panjang, Pantai Lebetawi, Difur dan masih banyak lagi yang menawarkan pesona karang serta pemandangan yang indah. Life changing.

Baiklah, mari kita lanjutkan soal gaya berbusana. Bicara soal gaya berbusana. Saya pernah membaca buku seorang fotografer Douglas Kirkland, Coco Chanel Three Weeks 1962. Coco channel, seorang icon fashion yang paling penting di dunia yang hanya mengenakan setelan jaket dan rok meskipun terlihat tua dan jauh dari kesan sexy. Tapi, entah, kenapa Coco Channel masih terlihat sangat stylish. Ya, itu semua dikarenakan life style diantara para jetsetter, serta kesibukannya di studio jahit yang ekslusif.  Menurut Coco Channel, Fashion is not something that exist in dresses only. Fashion is in the sky, in the street, fashion has to do with ideas, the way we live, what is happening.
Mama saya adalah seorang penjahit dan tante saya adalah seorang penari klasik. Saya besar dengan melihat beragam jenis gaya busana serta beragam jenis gaya make up. Saya sendiri sudah suka mengamati orang lain semenjak saya kecil. Ternyata menjadi penjahit juga harus tampil dengan gaya yang sederhana namun terkesan elegan namun tetap menjadi dirinya sendiri, sedang gaya seorang penari adalah glamour sesuai peran yang dibawakan diatas panggung. Cetar paripurna gitu deh. Prinsip yang mereka adalah, tidak harus berbusana  mahal, asalkan nyaman, rapi dan pantas untuk dilihat. Prinsip yang mereka pakai dalam berbusana adalah ‘ajining diri saka lathi, ajining salira saka busana’, atau ‘mulutmu harimaumu, harga diri sesseorang tergantung dari apa yang diucapkan, harga jasmani tergantung dari apa yang dikenakan’. Prinsip ini mereka gunakan untuk menekankan bahwa menghargai seseorang tidak hanya dari kulit luarnya saja, tetapi justru mengajarkan agar kita menjadi seseorang yang valuable.

Just my two cents