Monday, January 2, 2017

IT’S MORE THAN FASHION…

     Jakarta. Sore yang mendung itu. Saya berjalan menyusuri jalanan Ibukota usai menyelesaikan tugas dinas saya dengan baju batik dan celana kain. Terkesan formal tapi ini kan weekdays jadi gak awkward lah ya. Saat itu saya iseng memperhatikan gaya berbusana orang-orang yang lalu lalang disekitaran saya. Beragam gaya fashion yang saya lihat. Well, saya suka memperhatikan orang-orang secara random soal gaya berbusana mereka baik itu orang yang saya lihat di mall, di kantor, di bus, di kereta, di halte, di stasiun, di bandara, di jalanan dan di meet up-meet up acara tertentu. Anywhere, anytime.  Terkadang dari situlah saya mendapat inspirasi soal gaya busana yang ingin saya jahit dengan model tertentu yang saya yakini masih sedikit orang yang memakainya, ya, meskipun akhirnya banyak juga yang memakai model yang saya buat sketsa-nya. Aku Rapopo. J hahaha.

Kadang kala saya pergi ke mall-mall besar dengan interior yang unik sesuai dengan Perayaan Hari-Hari Besar di Indonesia, dengan pencahayaan yang lembut dan hangat, dengan tata ruang yang spacious. Tujuannya apa? Ya untuk rekreasi jiwa, hati dan mata. Meskipun terkadang semua ini soal shopping. Yah hak semua oranglah ya untuk datang ke mall even bukan untuk belanja. Karena mall adalah ruang publik dimana banyak orang yang berkunjung dengan beragam alasan. Begitu juga dengan toko buku, saya suka tata ruang yang dibuat rapi, sejajar dan terasa ruangan menjadi penuh namun tak membuat sesak. Tujuan datang ke toko buku? Ya yang pasti mencari buku, menambah informasi melalui membaca, dan datang ke toko buku merupakan salah satu sarana rekreasi jiwa bagi saya. Sesekali saya melihat sekeliling rupa-rupa seperti apa yang pergi ke toko buku. hehehe.

Kesimpulan yang saya dapat dari hasil pandangan mata secara random adalah, rata-rata mereka yang datang ke mall memiliki gaya yang sama dengan apa yang ditampilkan di mall-mall besar dengan segala macam barang-barang branded yang dijual disana. Pramuniaga di mall pun (kebanyakan) melayani sesuai dengan gaya berpakaian pelanggan. So pathetic.  Lain halnya dengan gaya berbusana di toko buku, mereka serupa dengan tatatan di toko buku tersebut. Sama-sama rapi, sama-sama enak dilihat, sama-sama stylish-nya. Entah mereka benar-benar membeli buku, entah mereka hanya membaca buku, menunggu waktu hingga jam tayang ditiket bioskop mereka dimulai, entah mereka menunggu seseorang atau cuma ingin nongkrong sambil meeting. Yah, semacam salah satu cara yang efektif untuk membunuh waktu dengan cara yang stylish, gitu.

By the way, Saya jadi tergelitik untuk membahas tentang kemampuan seseorang dalam berbusana untuk tampil keren bukan mahal lho ya. Apakah gaya berbusana seseorang itu dipengaruhi oleh naluri or taste, bakat, situasi, kondisi ataukah sesuatu yang tercipta karena life style? Karena sering sekali saya lihat, seseorang itu tampil keren itu tak melulu dikarenakan busana yang mereka kenakan mahal atau memakai produk branded dari atas sampai bawah. Tapi juga bisa karena mereka memang pandai memadu padankan atau mix and match, mereka pandai dalam memilih gaya yang sesuai dengan bentuk badan, warna kulit, atau mereka bisa tampak stylish karena life style yang sudah mereka ‘bawa’. Seperti misalnya berada di toko buku, atau tempat nongkrong yang gaul/menarik. Padahal mungkin cuma pakai t-shirt, jeans, postman bag/tas jinjing, flast shoes/keds/sneakers.  Sederhana tapi stylish.

Ah, saya sudah lama sekali tidak nongkrong ditempat-tempat yang begituan, karena tempat kerja saya yang sekarang ini, bisa dibilang masih dalam tahap kota yang baru saja dimekarkan (dalam masa pembangunan), sehingga mall, gedung bioskop, atau pun tempat-tempat nongkrong semacam 7eleven hanya bisa saya dapatkan ketika berkunjung ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Ambon, dsb. Tapi tempat-tempat gaul itu digantikan dengan wisata alam yang mumpuni seperti Pulau Bair, Ngurtavur, Goa Hawang, Pantai Pasir Panjang, Pantai Lebetawi, Difur dan masih banyak lagi yang menawarkan pesona karang serta pemandangan yang indah. Life changing.

Baiklah, mari kita lanjutkan soal gaya berbusana. Bicara soal gaya berbusana. Saya pernah membaca buku seorang fotografer Douglas Kirkland, Coco Chanel Three Weeks 1962. Coco channel, seorang icon fashion yang paling penting di dunia yang hanya mengenakan setelan jaket dan rok meskipun terlihat tua dan jauh dari kesan sexy. Tapi, entah, kenapa Coco Channel masih terlihat sangat stylish. Ya, itu semua dikarenakan life style diantara para jetsetter, serta kesibukannya di studio jahit yang ekslusif.  Menurut Coco Channel, Fashion is not something that exist in dresses only. Fashion is in the sky, in the street, fashion has to do with ideas, the way we live, what is happening.
Mama saya adalah seorang penjahit dan tante saya adalah seorang penari klasik. Saya besar dengan melihat beragam jenis gaya busana serta beragam jenis gaya make up. Saya sendiri sudah suka mengamati orang lain semenjak saya kecil. Ternyata menjadi penjahit juga harus tampil dengan gaya yang sederhana namun terkesan elegan namun tetap menjadi dirinya sendiri, sedang gaya seorang penari adalah glamour sesuai peran yang dibawakan diatas panggung. Cetar paripurna gitu deh. Prinsip yang mereka adalah, tidak harus berbusana  mahal, asalkan nyaman, rapi dan pantas untuk dilihat. Prinsip yang mereka pakai dalam berbusana adalah ‘ajining diri saka lathi, ajining salira saka busana’, atau ‘mulutmu harimaumu, harga diri sesseorang tergantung dari apa yang diucapkan, harga jasmani tergantung dari apa yang dikenakan’. Prinsip ini mereka gunakan untuk menekankan bahwa menghargai seseorang tidak hanya dari kulit luarnya saja, tetapi justru mengajarkan agar kita menjadi seseorang yang valuable.

Just my two cents




No comments:

Post a Comment