IT’S MORE THAN FASHION…
Jakarta. Sore yang mendung itu. Saya
berjalan menyusuri jalanan Ibukota usai menyelesaikan tugas dinas saya dengan
baju batik dan celana kain. Terkesan formal tapi ini kan weekdays jadi gak awkward lah
ya. Saat itu saya iseng memperhatikan
gaya berbusana orang-orang yang lalu lalang disekitaran saya. Beragam gaya
fashion yang saya lihat. Well, saya
suka memperhatikan orang-orang secara random soal gaya berbusana mereka baik
itu orang yang saya lihat di mall, di kantor, di bus, di kereta, di halte, di
stasiun, di bandara, di jalanan dan di meet
up-meet up acara tertentu. Anywhere,
anytime. Terkadang dari situlah saya
mendapat inspirasi soal gaya busana yang ingin saya jahit dengan model tertentu
yang saya yakini masih sedikit orang yang memakainya, ya, meskipun akhirnya
banyak juga yang memakai model yang saya buat sketsa-nya. Aku Rapopo. J hahaha.
Kadang kala saya pergi ke
mall-mall besar dengan interior yang unik sesuai dengan Perayaan Hari-Hari
Besar di Indonesia, dengan pencahayaan yang lembut dan hangat, dengan tata
ruang yang spacious. Tujuannya apa?
Ya untuk rekreasi jiwa, hati dan mata. Meskipun terkadang semua ini soal shopping. Yah hak semua oranglah ya
untuk datang ke mall even bukan untuk belanja. Karena mall adalah ruang publik
dimana banyak orang yang berkunjung dengan beragam alasan. Begitu juga dengan
toko buku, saya suka tata ruang yang dibuat rapi, sejajar dan terasa ruangan
menjadi penuh namun tak membuat sesak. Tujuan datang ke toko buku? Ya yang
pasti mencari buku, menambah informasi melalui membaca, dan datang ke toko buku
merupakan salah satu sarana rekreasi jiwa bagi saya. Sesekali saya melihat
sekeliling rupa-rupa seperti apa yang pergi ke toko buku. hehehe.
Kesimpulan yang saya dapat
dari hasil pandangan mata secara random adalah, rata-rata mereka yang datang ke
mall memiliki gaya yang sama dengan apa yang ditampilkan di mall-mall besar
dengan segala macam barang-barang branded
yang dijual disana. Pramuniaga di mall pun (kebanyakan) melayani sesuai dengan
gaya berpakaian pelanggan. So pathetic. Lain halnya dengan gaya berbusana di toko
buku, mereka serupa dengan tatatan di toko buku tersebut. Sama-sama rapi,
sama-sama enak dilihat, sama-sama stylish-nya.
Entah mereka benar-benar membeli buku, entah mereka hanya membaca buku,
menunggu waktu hingga jam tayang ditiket bioskop mereka dimulai, entah mereka
menunggu seseorang atau cuma ingin nongkrong sambil meeting. Yah, semacam salah satu cara yang efektif untuk membunuh
waktu dengan cara yang stylish, gitu.
By
the way, Saya jadi tergelitik untuk membahas tentang kemampuan
seseorang dalam berbusana untuk tampil keren bukan mahal lho ya. Apakah gaya
berbusana seseorang itu dipengaruhi oleh naluri or taste, bakat, situasi, kondisi ataukah sesuatu yang tercipta
karena life style? Karena sering
sekali saya lihat, seseorang itu tampil keren itu tak melulu dikarenakan busana
yang mereka kenakan mahal atau memakai produk branded dari atas sampai bawah. Tapi juga bisa karena mereka memang
pandai memadu padankan atau mix and match,
mereka pandai dalam memilih gaya yang sesuai dengan bentuk badan, warna kulit,
atau mereka bisa tampak stylish
karena life style yang sudah mereka
‘bawa’. Seperti misalnya berada di toko buku, atau tempat nongkrong yang
gaul/menarik. Padahal mungkin cuma pakai t-shirt,
jeans, postman bag/tas jinjing, flast shoes/keds/sneakers. Sederhana tapi stylish.
Ah, saya sudah lama sekali
tidak nongkrong ditempat-tempat yang begituan, karena tempat kerja saya yang
sekarang ini, bisa dibilang masih dalam tahap kota yang baru saja dimekarkan
(dalam masa pembangunan), sehingga mall, gedung bioskop, atau pun tempat-tempat
nongkrong semacam 7eleven hanya bisa
saya dapatkan ketika berkunjung ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung,
Surabaya, Ambon, dsb. Tapi tempat-tempat gaul itu digantikan dengan wisata alam
yang mumpuni seperti Pulau Bair, Ngurtavur, Goa Hawang, Pantai Pasir Panjang,
Pantai Lebetawi, Difur dan masih banyak lagi yang menawarkan pesona karang
serta pemandangan yang indah. Life changing.
Baiklah, mari kita
lanjutkan soal gaya berbusana. Bicara soal gaya berbusana. Saya pernah membaca
buku seorang fotografer Douglas Kirkland, Coco Chanel Three Weeks 1962. Coco
channel, seorang icon fashion yang paling penting di dunia yang hanya mengenakan
setelan jaket dan rok meskipun terlihat tua dan jauh dari kesan sexy. Tapi,
entah, kenapa Coco Channel masih terlihat sangat stylish. Ya, itu semua dikarenakan life style diantara para jetsetter, serta kesibukannya di studio
jahit yang ekslusif. Menurut Coco
Channel, Fashion is not something that
exist in dresses only. Fashion is in the sky, in the street, fashion has to do
with ideas, the way we live, what is happening.
Mama saya adalah seorang
penjahit dan tante saya adalah seorang penari klasik. Saya besar dengan melihat
beragam jenis gaya busana serta beragam jenis gaya make up. Saya sendiri sudah
suka mengamati orang lain semenjak saya kecil. Ternyata menjadi penjahit juga
harus tampil dengan gaya yang sederhana namun terkesan elegan namun tetap
menjadi dirinya sendiri, sedang gaya seorang penari adalah glamour sesuai peran
yang dibawakan diatas panggung. Cetar paripurna gitu deh. Prinsip yang mereka
adalah, tidak harus berbusana mahal,
asalkan nyaman, rapi dan pantas untuk dilihat. Prinsip yang mereka pakai dalam
berbusana adalah ‘ajining diri saka
lathi, ajining salira saka busana’, atau ‘mulutmu harimaumu, harga diri
sesseorang tergantung dari apa yang diucapkan, harga jasmani tergantung dari
apa yang dikenakan’. Prinsip ini mereka gunakan untuk menekankan bahwa
menghargai seseorang tidak hanya dari kulit luarnya saja, tetapi justru
mengajarkan agar kita menjadi seseorang yang valuable.
Just
my two cents
No comments:
Post a Comment