“Duh, akhir-akhir ini aku ngerasa
semua salah aku fun, entah kenapa dan gimana, kayak-kayak semua yang aku lakuin
salah, ya salah typing proposal atau suratlah, salah ngomong ke client-lah,
salah nentuin waktu rapatlah, fashion akulah yang gak fashionable sebagai PR-lah,
gaya makan akulah, gaya jalan akulah, salah bersikaplah, dikit-dikit salah, apa aja dicecer. Padahal aku juga kan kerja gak
cuma sendirian, tapi kan team, masak iya semua salah kasih ke aku? Ya bukannya
gak mau disalahin tapi kan aku juga cuma manusia kalik. Lama-lama keberadaaan aku
sebagai manusia juga disalahin kalik.”, curhat teman saya.
Dan
kalau saya jawab,”iya mungkin”, hmmm, jangan-jangan dia langsung terjun bebas kali
ya di Sungai Code hahahahaha.
Tapi
sadarkah kalian kalau kita ini hidup di era judgmental
folks. Jikalau dimata mereka, kamu oke, maka kamu AMAN *yeeeeee... hip hip
huraaaaay...* eyatapi lagi ni, kalau dimata mereka, kamu “eh lo gak banget deh”,
maka, you’re dead! Ya mau gimana lagi,
masyarakat kita ini selalu dan akan selalu “peduli” dengan segala hal yang kita
lakukan terlepas dari “benar-benar care”
atau “mau tahu aja”.
Teman
saya cuma sebagian kecil dari isu judgemntal
folks tadi. Kita selalu merasa khawatir kalau pendapat, tingkah laku
ataupun tutur kata tidak sama dengan yang orang lain pikirkan dan/atau rasakan.
Khawatir kalau semua hal yang kita ambil akan mengecewakan orang lain. Jika
kita berbeda, maka orang-orang akan menganggap kita “alien”, “gak gaul”, “gak kekinian” dan “gak temenan deh ah”. Hehehehe.
Alhasil, apapun yang kita lakukan adalah
asalkan orang lain senang bukan asal bapak senang trus beli jet pribadi ya. BEDA
hahaha.
Dulu,
saya selalu takut mengecewakan orang lain. Saya takut sekali membuat orang lain
terluka, padahal saya pun tak jarang
dikecewakan dan disakiti oleh orang lain. Pokoknya dulu, saya
adalah orang yang punya prinsip jangan sampai mengecewakan orang lain atau
membuat tidak nyaman orang lain. Ujung-ujungnya saya pasti akan merasa paling bersalah
dan menjatuhkan semua kesalahan pada diri saya. Kemudian saya akan benar-benar
memutar otak tentang bagaimana caranya memperbaiki situasi supaya orang lain
tidak kecewa lagi, tidak sedih lagi dan jadi happy lagi dengan apa yang saya lakukan. Melelahkan ya? Heheehehee.
Pas
saya baru awal-awal jadi anak baru di
kantor, kalo mbak-mbak senior komentar kurang ini kurang itu tentang baju saya,
warnanya, style-nya yang saya gunakan, pasti deh besoknya saya ganti model baju
sesuai permintaan. Pun demikian ketika ada teman yang berbeda pendapat pas meeting, langsung cepat-cepat saya
menyesuaikan statement saya dengan statement teman saya. Atau pas ada teman
yang minta bantuan, saya tidak bisa bilang tidak pada saat itu. Kalau saya
tolak, saya takut akan menyinggung atau mengecewakan mereka. Pokoknya saya
peduli banget deh sama apa yang mereka bilang. Jangan sampai keliatan “berbeda”.
Jangan sampai saya tidak disukai oleh teman atau lingkungan tempat saya bekerja
waktu itu. Akhirnya saya merasa aneh dan gak kenal lagi deh sama diri sendiri
a.k.a krisis jati diri. Apa-apa takut salah. Takut dicemooh. Takut dibully (lagi).
Tapi
itu doeloe J
Then, I realized that,
we can’t make everyone happy all the time.
And we shouldn’t. It’s like we can’t work
continously for eight hours without a break. People will always have an opinion
not only on what we do, but on everything we do. Society is never pleased. Noted
it.
What’s on their minds?
See?
Jelas
sudah kalau kita tidak bisa dan tidak akan pernah bisa membuat orang merasa
senang. Saya rasa kita juga tidak perlu berharap agar orang lain membuat kita
senang. Don’t never ever think about it,
because it’s pointless. Akan selalu ada orang-orang yang tidak akan
menyukai apa yang kita lakukan. Akan selalu ada orang yang mencela apa yang
kita perbuat. Akan selalu ada orang yang membuat kita merasa bersalah atau
tidak merasa nyaman dengan diri kita sendiri. It’s normal.
Masa
iya hidup kita cuma kita dedikasikan untuk orang lain. Simpelnya nih, kalau
cewek dikatain gendut, maka dia berupaya keras untuk diet dengan berbagai cara
dan jalan pintas –minum pil pelangsing, red- hanya demi ‘pandangan’ orang lain.
Atau ni ya, temen kita moody-an ni orangnya,
trus kita harus jadi penjaga mood dia terus? Duh, mak, aye capek dah mak. Hahahaha.
Tapi ada juga orang yang homogen sifatnya. Ngikut kata orang.
Seperti
fenomena yang sekarang marak banget, plastic
surgery. Saya ambil contoh di Korea –seperti yang kalian tahu- warganya
sangat mengangungkan keindahan dan kesempurnaan. Jika mereka merasakan tekanan
sosial karena muka/fisik mereka tidak sesuai kriteria cantik/ganteng versi
mereka, maka operasi plastik adalah pilihan tunggal bagi mereka. Jadi, kalo orang-orang
pada jalan pake masker, idung diperban, -habis oplas, red- mondar-mandir di Gangnam
street yah sudah biasalah. But they're happy dan (akhirnya) gak merasa
dirugiin. Well, it’s depend on them sih
hihihi.
Tapi
karena Indonesia bersifat heterogen bukan homogen kaya mereka ya susah juga
sih. Baiknya sih melakukan sesuatu itu jangan ada unsur paksaan karena hasilnya
pasti tidak maksimal dan tidak memuaskan hati. Baik boleh tapi penting untuk
menjaga diri agar kita tidak dimanfaatkan orang lain karena kebaikan dan
kemurahan hati kita. Katakan “iya” jika memang sanggup dan mampu tapi jangan
segan untuk berkata “tidak” atau menolak jika memang tidak sanggup. Pilihlah
permasalahan dimana kamu harus berkata “iya”, karena saling tolong menolong itu
perlu. Pilihlah dengan bijak. Kuncinya : ikhlas dan jangan grundel di belakang.
Sekarang,
kalau ada komentar tentang diri kita, apapun itu, terima dengan besar hati. Ya untuk
membangun karakter kita menjadi tangguh dan baik buat kedepannya. Sejujurnya,
kita tidak bisa menghalangi bagaimana pikiran orang tentang kita, apakah
menyukai atau membenci, karena sejatinya bukan apa yang mereka pikirkan tapi apa
yang kamu pikirkan tentang mereka : If people like you, it’s great but if some
don’t, it’s OK, no problem J
Berikan waktu untuk dirimu
berbahagia and share that happiness with
others. Belajar berkata tidak. And be
yourself J
No comments:
Post a Comment