Saturday, November 21, 2015

We Can Not Make Everyone Happy



Suatu sore, di sudut kota Jogja ...

“Duh, akhir-akhir ini aku ngerasa semua salah aku fun, entah kenapa dan gimana, kayak-kayak semua yang aku lakuin salah, ya salah typing proposal atau suratlah, salah ngomong ke client-lah, salah nentuin waktu rapatlah, fashion akulah yang gak fashionable sebagai PR-lah, gaya makan akulah, gaya jalan akulah, salah bersikaplah, dikit-dikit salah, apa aja dicecer. Padahal aku juga kan kerja gak cuma sendirian, tapi kan team, masak iya semua salah kasih ke aku? Ya bukannya gak mau disalahin tapi kan aku juga cuma manusia kalik. Lama-lama keberadaaan aku sebagai manusia juga disalahin kalik.”, curhat teman saya.

Dan kalau saya jawab,”iya mungkin”, hmmm, jangan-jangan dia langsung terjun bebas kali ya di Sungai Code hahahahaha.

Tapi sadarkah kalian kalau kita ini hidup di era judgmental folks. Jikalau dimata mereka, kamu oke, maka kamu AMAN *yeeeeee... hip hip huraaaaay...* eyatapi lagi ni, kalau dimata mereka, kamu “eh lo gak banget deh”, maka, you’re dead! Ya mau gimana lagi, masyarakat kita ini selalu dan akan selalu “peduli” dengan segala hal yang kita lakukan terlepas dari “benar-benar care” atau “mau tahu aja”.

Teman saya cuma sebagian kecil dari isu judgemntal folks tadi. Kita selalu merasa khawatir kalau pendapat, tingkah laku ataupun tutur kata tidak sama dengan yang orang lain pikirkan dan/atau rasakan. Khawatir kalau semua hal yang kita ambil akan mengecewakan orang lain. Jika kita berbeda, maka orang-orang akan menganggap kita “alien”, “gak gaul”, “gak kekinian” dan “gak temenan deh ah”. Hehehehe.  Alhasil, apapun yang kita lakukan adalah asalkan orang lain senang bukan asal bapak senang trus beli jet pribadi ya. BEDA hahaha.

Dulu, saya selalu takut mengecewakan orang lain. Saya takut sekali membuat orang lain terluka, padahal saya pun tak jarang dikecewakan dan disakiti oleh orang lain. Pokoknya dulu, saya adalah orang yang punya prinsip jangan sampai mengecewakan orang lain atau membuat tidak nyaman orang lain. Ujung-ujungnya saya pasti akan merasa paling bersalah dan menjatuhkan semua kesalahan pada diri saya. Kemudian saya akan benar-benar memutar otak tentang bagaimana caranya memperbaiki situasi supaya orang lain tidak kecewa lagi, tidak sedih lagi dan jadi happy lagi dengan apa yang saya lakukan. Melelahkan ya? Heheehehee.

Pas saya baru awal-awal  jadi anak baru di kantor, kalo mbak-mbak senior komentar kurang ini kurang itu tentang baju saya, warnanya,  style-nya yang saya gunakan, pasti deh besoknya saya ganti model baju sesuai permintaan. Pun demikian ketika ada teman yang berbeda pendapat pas meeting, langsung cepat-cepat saya menyesuaikan statement saya dengan statement teman saya. Atau pas ada teman yang minta bantuan, saya tidak bisa bilang tidak pada saat itu. Kalau saya tolak, saya takut akan menyinggung atau mengecewakan mereka. Pokoknya saya peduli banget deh sama apa yang mereka bilang. Jangan sampai keliatan “berbeda”. Jangan sampai saya tidak disukai oleh teman atau lingkungan tempat saya bekerja waktu itu. Akhirnya saya merasa aneh dan gak kenal lagi deh sama diri sendiri a.k.a krisis jati diri. Apa-apa takut salah. Takut dicemooh. Takut dibully (lagi).

Tapi itu doeloe J
Then, I realized that, we can’t make everyone happy all the time. And we shouldn’t. It’s like we can’t work continously for eight hours without a break. People will always have an opinion not only on what we do, but on everything we do. Society is never pleased. Noted it.
What’s on their minds?  

See?
Jelas sudah kalau kita tidak bisa dan tidak akan pernah bisa membuat orang merasa senang. Saya rasa kita juga tidak perlu berharap agar orang lain membuat kita senang. Don’t never ever think about it, because it’s pointless. Akan selalu ada orang-orang yang tidak akan menyukai apa yang kita lakukan. Akan selalu ada orang yang mencela apa yang kita perbuat. Akan selalu ada orang yang membuat kita merasa bersalah atau tidak merasa nyaman dengan diri kita sendiri. It’s normal.

Masa iya hidup kita cuma kita dedikasikan untuk orang lain. Simpelnya nih, kalau cewek dikatain gendut, maka dia berupaya keras untuk diet dengan berbagai cara dan jalan pintas –minum pil pelangsing, red- hanya demi ‘pandangan’ orang lain. Atau ni ya, temen kita moody-an ni orangnya, trus kita harus jadi penjaga mood dia terus? Duh, mak, aye capek dah mak. Hahahaha. Tapi ada juga orang yang homogen sifatnya. Ngikut kata orang.

Seperti fenomena yang sekarang marak banget, plastic surgery. Saya ambil contoh di Korea –seperti yang kalian tahu- warganya sangat mengangungkan keindahan dan kesempurnaan. Jika mereka merasakan tekanan sosial karena muka/fisik mereka tidak sesuai kriteria cantik/ganteng versi mereka, maka operasi plastik adalah pilihan tunggal bagi mereka. Jadi, kalo orang-orang pada jalan pake masker, idung diperban, -habis oplas, red- mondar-mandir di Gangnam street yah sudah biasalah. But they're happy dan (akhirnya) gak merasa dirugiin. Well, it’s depend on them sih hihihi.

Tapi karena Indonesia bersifat heterogen bukan homogen kaya mereka ya susah juga sih. Baiknya sih melakukan sesuatu itu jangan ada unsur paksaan karena hasilnya pasti tidak maksimal dan tidak memuaskan hati. Baik boleh tapi penting untuk menjaga diri agar kita tidak dimanfaatkan orang lain karena kebaikan dan kemurahan hati kita. Katakan “iya” jika memang sanggup dan mampu tapi jangan segan untuk berkata “tidak” atau menolak jika memang tidak sanggup. Pilihlah permasalahan dimana kamu harus berkata “iya”, karena saling tolong menolong itu perlu. Pilihlah dengan bijak. Kuncinya : ikhlas dan jangan grundel di belakang.

Sekarang, kalau ada komentar tentang diri kita, apapun itu, terima dengan besar hati. Ya untuk membangun karakter kita menjadi tangguh dan baik buat kedepannya. Sejujurnya, kita tidak bisa menghalangi bagaimana pikiran orang tentang kita, apakah menyukai atau membenci, karena sejatinya bukan apa yang mereka pikirkan tapi apa yang kamu pikirkan tentang mereka :  If people like you, it’s great but if some don’t, it’s OK, no problem J

Berikan waktu untuk dirimu berbahagia and share that happiness with others. Belajar berkata tidak. And be yourself J


No comments:

Post a Comment